No one has ever become poor by giving, Please Donate

Friday 9 December 2016

Tagged under:

Lansia Terlantar di Indonesia, Siapa yang harus Bertanggung Jawab?








Kehidupan lansia di Indonesia dinilai masih sangat memprihatinkan baik di mata dunia maupun di dalam Indonesia sendiri. Secara global, pada tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat 74 dari 96 negara dalam Indeks AgeWatch Global oleh HelpAge International. Performa terbaik Indonesia ada pada tingkat keselamatan lansia dalam berpergian (89%) dan hubungan dengan lingkungan sosial sekitar (78%). Namun, Indonesia memiliki persentase paling rendah pada ketersediaan dana pensiun (8,1%). Di Indonesia sendiri, data Statistik Penduduk Lanjut Usia di Indonesia oleh BPS 2015 menyatakan bahwa dari sekitar 21 juta jiwa lansia (8,5% dari populasi penduduk) ada 9,55% lansia terlantar dan 23,52% lansia hampir terlantar. Sebanyak 46,53% lansia masih bekerja dengan separuh lebih dari mereka hanya memperoleh upah/gaji/pendapatan kurang dari Rp 1.000.000/bulan. Selain itu, 45,14% lansia di Indonesia berada di rumah tangga dengan status ekonomi rendah, dan hanya 11,08% dari jumlah rumah tangga lansia memiliki jaminan sosial.

Kesejahteraan sosial lansia perlu mendapat perhatian sedari dini demi menciptakan taraf hidup masyarakat Indonesia yang lebih baik. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama bagi pemerintah, masyarakat dan keluarga seperti yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Sosial Lansia Pasal 8: Pemerintah, masyarakat, dan keluarga bertanggung jawab atas terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.

Kementerian Sosial Republik Indonesia tengah meningkatkan kesejahteraan lansia dalam berbagai program. Pada tahun 2015, berdasarkan data Statistik Penduduk Lanjut Usia di Indonesia oleh BPS 2015, 9,83% dari seluruh rumah tangga lansia menerima bantuan kredit usaha, 1,95% penerima Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan program pemerintah lainnya sebesar 0,16%. Pada tahun 2016, 125.000 lansia menerima Program Keluraga Harapan (PKH); 30.000 menerima Asistensi Lanjut Usia Terlantar (ASLUT); 17.830 lansia mendapatkan perawatan home care; 780 lansia mendapatkan layanan day care; 1.000 lansia mendapat bantuan dukungan keluarga; serta 3.180 lansia menerima Usaha Ekonomi Produktif (UEP). 

Melihat angka diatas, kondisi ini dirasa belum cukup merata untuk menangani lansia terlantar di Indonesia, masih banyak lansia yang belum terdaftar untuk menerima dana bantuan sosial. Belum lagi ditambah dengan pemerintah daerah yang tidak menjadikan program pelayanan peduli lansia sebagai fokus program kerja mereka melainkan kepada infrastruktur daerahnya. Sebagai contoh, mengutip pernyataan dari Ketua Fraksi Partai Demokrat Kabupaten Bekasi, Taih Minarno dalam sebuah media, yang menyatakan dirinya memprioritaskan infrastruktur dan terkesan menomorduakan kepedulian terhadap lansia dan warga tidak mampu lainnya "Proyek insfrastruktur perbaikan jalan lebih penting dibanding memberi makan warga tidak mampu".

Padahal, idealnya, dengan meningkatkan upaya pemberdayaan lansia potensial dan pelayanan asistensi lanjut usia tidak potensial dapat membantu pemerintah menjaga dan melestarikan nilai budaya, kearifan, keterampilan, pengatahuan dan pengalaman yang dapat dibagikan oleh para lansia kepada generasi yang lebih muda seperti yang tertulis dalam UU No 13 Tahun 1998 pasal 3 dan 4.

Disisi lain, masyarakat juga memiliki peranan yang sama pentingnya untuk peduli terhadap keberlangsungan hidup para lansia. Keluarga diharapkan untuk semaksimal mungkin membantu dan mengurus para anggota keluarga yang sudah berusia lanjut sebelum akhirnya memutuskan untuk menitipkan mereka di panti werdha. Namun, tak jarang ditemukannya lansia yang tinggal dan bekerja sendiri, dan terkadang mengharapkan bantuan dari orang sekitar. Berawal dari gerakan hati melihat kenyataan lapangan yang ada, banyak individual yang akhirnya membangun komunitas sosial atau organisasi nirlaba untuk membuat aksi nyata dalam mewujudkan kepedulian mereka terhadap para lansia.

Sebut saja Komunitas Peduli Cikarang (KPC) (https://komunitaspedulicikarang.blogspot.co.id/), sebagai salah satu contoh komunitas sosial yang belakangan ini gencar dalam mengkampanyekan aksi nyata mereka dalam gerakan sosial #KamiPeduliLansia. Tujuan utama mereka adalah untuk membantu menyuarakan suara para lansia yang belum mendapat bantuan sosial dari pemerintah, yang hidup dan bekerja sendiri tanpa bantuan sanak saudara, sekaligus berbagi inspirasi hidup para lansia terlantar baik di dalam maupun diluar Cikarang. Mereka berharap gerakan sosial tersebut dapat merangkul dan mengajak komunitas sosial yang memiliki tujuan serupa di daerah lain di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membantu para lansia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Disimpulkan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu saling berkoordinasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia seperti yang tertulis dalam UU No. 13 Tahun 1998 pasal 25 ayat 1. Pemerintah akan memberikan penghargaan kepada masyarakat (perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi sosial, dan/atau organisasi kemasyarakatan) yang berperan dan terlibat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia diatur dalam UU No 13 Tahun 1998 Pasal 23 dan PP No 43 Tahun 2004 Pasal 42 59. Sebaliknya, pemerintah juga dapat memberikan sanksi bagi masyarakat yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan pelanggaran yang diperbuat yang tertulis dalam UU No 13 Tahun 1998 Pasal 26 28.

Penulis: Charista Aprilia, Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2013 President University

Sumber asli: http://rubik.okezone.com/read/41035/lansia-terlantar-di-indonesia-siapa-yang-harus-bertanggung-jawab

0 comments:

Post a Comment